TUGAS SOFTSKILL BAHASA INDONESIA 2
REMUNERASI
Disusun Oleh
:
Dewi Asmarani
21212946
3EB17
UNIVERSITAS
GUNADARMA
PTA 2014/2015
BAB
I
PENDAHULUAN
Remunerasi
berdasarkan kamus bahasa Indonesia artinya imbalan atau gaji. Dalam konteks
Reformasi Birokrasi, pengertian Remunerasi, adalah penataan kembali sistem
penggajian yang dikaitkan dengan sistem penilaian kinerja.
Remunerasi
pemerintahan adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kebijakan
Reformasi Birokrasi. Dilatarbelakangi oleh kesadaran sekaligus komitmen
pemerintah untuk mewujudkan clean and good governance. Namun pada tataran
pelaksanaannya, Perubahan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam rangka
mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak mungkin
akan dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang layak
dari pegawai yang mengawakinya. Perubahan dan pembaharuan tersebut dilaksanakan
untuk menghapus kesan Pemerintahan yang selama ini dinilai buruk.
Maksud dan
tujuan kebijakan Remunerasi Para aparatur negara adalah bagian dari
Pemerintahan. Maka dalam konteks Reformasi birokrasi dilingkungan tersebut,
upaya untuk menata dan meningkatkan kesejahteraan para pegawai adalah merupakan
kebutuhan yang sangat elementer, mengingat kaitannya yang sangat erat dengan
misi perubahan kultur pegawai (Reformasi bidang kultural). Sehingga dengan
struktur gaji yang baru (nanti), setiap pegawai diharapkan akan mempunyai daya
tangkal (imunitas) yang maksimal terhadap rayuan atau iming-iming materi
(kolusi).
Siapa saja
yang mendapatkan Remunerasi Sesuai dengan Undang-undang NO. 17 tahun 2007,
tentang Rencana pembangunan Nasional jangka panjang 2005-2025 dan Peraturan
Meneg PAN, Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008, tentang Pedoman umum Reformasi birokrasi.
Kebijakan Remunerasi diperuntukan bagi seluruh Pegawai negeri di seluruh
lembaga pemerintahan.
Mengapa
Remunerasi bermakna sangat strategis terhadap suksesnya Reformasi Birokrasi ?
Remunerasi bermakna sangat strategis terhadap suksesnya Reformasi birokrasi, mengingat dampak paling signifikan terhadap kinerja lembaga akan sangat ditentukan oleh perubahan kultur birokrasi didalam melaksanakan tugas pokoknya. Sedangkan keberhasilan merubah kultur tersebut. akan sangat ditentukan oleh tingkat kesejahteraan anggotanya.
Remunerasi bermakna sangat strategis terhadap suksesnya Reformasi birokrasi, mengingat dampak paling signifikan terhadap kinerja lembaga akan sangat ditentukan oleh perubahan kultur birokrasi didalam melaksanakan tugas pokoknya. Sedangkan keberhasilan merubah kultur tersebut. akan sangat ditentukan oleh tingkat kesejahteraan anggotanya.
Namun
tanpa iming-iming Remunerasi, sesungguhnya Reformasi birokrasi sudah
dilaksanakan sejak tahun 2002 yang lalu. Yaitu dengan mencanangkan dan
melaksanakan beberapa perubahan dan pembaharuan dibidang instrumental, bidang
struktural dan bidang kultural pegawai.
Prinsip
dasar kebijakan Remunerasi adalah adil dan proporsional. Artinya kalau
kebijakan masa laiu menerapkan pola sama rata (generalisir), sehingga dikenal
adanya istilan PGPS (pinter goblok penghasilan sama). Maka dengan kebijakan
Remunerasi, besar penghasilan (reward) yang diterima oleh seorang pejabat
akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga jabatan yang disandangnya.
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Remunerasi
Untuk memperjelas pengertian
remunerasi, beberapa ahli memiliki sudut pandang masing- masing untuk
menjelaskan hal tersebut.
Mochammad Surya ( 2004:8) menyebutkan bahwa “ Remunerasi mempunyai
pengertian berupa “sesuatu” yang diterima pegawai sebagai imbalan dari
kontribusi yang telah diberikannya kepada organisasi tempat bekerja. Remunerasi
mempunyai makna lebihluas daripada gaji, karena mencakup semua imbalan, baik
yang berbentuk uang maupun barang, baik yang diberikan secara langsung maupun
tidak langsung, dan baik yang bersifat rutin maupun tidak rutin, imbalan
langsung terdiri dari gaji/upah, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, bonus
yang dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan prestasi dan berbagai jenis bantuan
terdiri dari fasilitas, kesehatan, dana pensiun, gaji, cuti, santunan musibah.
Selain Mochammad Surya, Kusnaedi mendefinisikan remunerasi sebagai
imbalan atau balas jasa yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja sebagai
akibat dari prestasiyang telah diberikannya dalam rangka mencapai tujuan
perusahaan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa remunerasi merupakan rewards atau
imbalan dari perusahaan kepada karyawan atas usaha dan kinerjanya baik dalam
bentuk financial ataupun non-financial yang tujuannya untuk mensejahterakan
karyawan tersebut.
Sistem Remunerasi itu sendiri akan berbeda-beda dalam setiap
perusahaan, tergantung dari bagaimana sistem kerja yang dipakai dalam
perusahaan tersebut. Seperti yang dapat dicontohkan adalah perbedaan sistem
remunerasi yang unik di bidang pekerjaan asuransi.
Sistem
remunerasi di bidang asuransi itu sendiri dapat menyerupai rewards yang besar
sesuai dengan target yang mereka capai. Kemudian, besarnya tingkat remunerasi
untuk masing-masing perusahaan itu sendiri berbeda. Perbedaan itu terjadi
berdasarkan beberapa faktor yang sangat mempengaruhi besarnya tingkat
remunerasi tesebut, factor-faktor tersebut antara lain permintaan dan penawaran
tenaga kerja, kemampuan perusahaan, kemampuan dan keterampilan tenaga kerja,
peranan perusahaan, serikat buruh, besar kecilnya resiko pekerjaan, campur
tangan pemerintah, dan biaya hidup.
Secara
teoritis dapat dibedakan dua sistem remunerasi, yaitu yang mengacu kepada teori
Karl Mark dan yang mengacu kepada teori Neo-klasik. Kedua teori tersebut
masing-masing memiliki kelemahan. Oleh karena itu, sistem pengupahan yang
berlaku dewasa ini selalu berada diantara dua sistem tersebut. Berarti bahwa
tidak ada satupun pola yang dapat berlaku umum. Yang perlu dipahami bahwa pola
manapun yang akan dipergunakan disesuaikan dengan kebijakan remunerasi
masing-masing perusahaan dan mengacu kepada rasa keadilan bagi kedua belah
pihak (perusahaan dan karyawan).
2.2 Latar Belakang
Kebijakan Remunerasi
Remunerasi
pemerintahan adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kebijakan
Reformasi Birokrasi. Dilatarbelakangi oleh kesadaran sekaligus komitmen
pemerintah untuk mewujudkan clean and
good governance. Namun pada tataran pelaksanaannya, Perubahan dan
pembaharuan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang
bersih dan berwibawa tersebut tidak mungkin akan dapat dilaksanakan dengan baik
(efektif) tanpa kesejahteraan yang layak dari pegawai yang mengawakinya.
Perubahan dan pembaharuan tersebut. dilaksanakan untuk menghapus kesan
Pemerintahan yang selama ini dinilai buruk. Antara lain ditandai oleh
indikator:
1.
Buruknya kualitas pelayanan publik
(lambat, tidak ada kepastian aturan/hukum, berbelit-belit, arogan, minta
dilayani atau feodal style,
dsb
2.
Sarat dengan perilaku KKN
(Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
3.
Rendahnya
kualitas disiplin dan etos kerja aparatur negara
4.
Kuaiitas.manajemen pemerintahan
yang tidak produktif, tidak efektif dan tidak efisien
5.
Kualitas pelayanan publik yang tidak
akuntabel dan tidak transparan.
2.3 Maksud dan Tujuan Kebijakan
Remunerasi
Para aparatur negara adalah bagian dari Pemerintahan. Maka dalam
konteks Reformasi birokrasi dilingkungan tersebut, upaya untuk menata dan
meningkatkan kesejahteraan para pegawai adalah merupakan kebutuhan yang sangat
elementer, mengingat kaitannya yang sangat erat dengan misi perubahan kultur
pegawai (Reformasi bidang kultural). Sehingga dengan struktur gaji yang baru
(nanti), setiap pegawai diharapkan akan mempunyai daya tangkal (imunitas) yang
maksimal terhadap rayuan atau iming-iming materi (kolusi).
2.4
Siapa Saja yang Mendapat Remunerasi
Sesuai
dengan Undang-undang NO. 17 tahun 2007, tentang Rencana pembangunan Nasional
jangka panjang 2005-2025 dan Peraturan Meneg PAN, Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008,
tentang Pedoman umum Reformasi birokrasi. Kebijakan Remunerasi diperuntukan
bagi seluruh Pegawai negeri di seluruh lembaga pemerintahan. Yang berdasarkan
urgensinya dikelompokan berdasarkan skala prioritas ke dalam tiga kelompok :
1. Prioritas
pertama adalah seluruh Instansi Rumpun Penegak Hukum, rumpun pengelola Keuangan
Negara, rumpun Pemeriksa dan Pengawas Keuangan Negara serta Lembaga Penertiban
Aparatur Negara
2. Prioritas
kedua adalah Kementrian/Lembaga yang terkait dg kegiatan ekonomi, sistem
produksi, sumber penghasil penerimaan Negara dan unit organisasi yang melayani
masyarakat secara langsung termasuk Pemda
3. Prioritas
ketiga adalah seluruh kementrian/lembaga yang tidak termasuk prioritas pertama
dan kedua.
2.5 Landasan Hukum Kebijakan Remunerasi
1.
UU No 28/1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN
2.
UU No.43/1999 tentang perubahan
atas UU No.8/1974 tentang pokok-pokok kepegawaian. Yang salah satu substansinya
menyatakan bahwa setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil &
layak sesuai dengan beban pekerjaan & tanggung jawabnya. ( Psl 7, UU
No.43/1999)
3.
Undang-undang No. 17 tahun 2007,
tentang Rencana Pembangunan Nasional jangka panjang 2005-2025. Khususnya pada
Bab IV butir 1.2, huruf E. Yang menyatakan bahwa : “Pembangunan Aparatur Negara
dilakukan melalui Reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme
aparatur negara dan tata pemerintahan yanq baik. Di pusat maupun di daerah,
agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan dibidang bidang lainnya. “
4.
Perpres No.7/2005, tentang Rencana
pembangunan jangka menengah Nasional
5.
Konvensi ILO No. 100;,
Diratifikasi pd th 1999, bunyinya ‘Equal
remuneration for jobs of equal value’ (Pekerjaan yang sama nilai atau
bobotnya harus mendapat imbalan yang sama).
2.6 Mengapa
Remunerasi Bermakna sangat Strategis terhadap Suksesnya Reformasi Birokrasi ?
Remunerasi bermakna sangat strategis terhadap
suksesnya Reformasi birokrasi, mengingat dampak paling signifikan terhadap
kinerja lembaga akan sangat ditentukan oleh perubahan kultur birokrasi didalam
melaksanakan tugas pokoknya. Sedangkan keberhasilan merubah kultur tersebut.
akan sangat ditentukan oleh tingkat kesejahteraan anggotanya.
Namun tanpa iming-iming Remunerasi, sesungguhnya
Reformasi birokrasi sudah dilaksanakan sejak tahun 2002 yang lalu. Yaitu dengan
mencanangkan dan melaksanakan beberapa perubahan dan pembaharuan dibidang
instrumental, bidang struktural dan bidang kultural pegawai.
2.7 Tahap-tahap Remunerasi
Pentahapan Remunerasi dari awal kegiatan (pengumpulan data) sampai
dengan tahap legislasi (penerbitan undang-undang) adalah :
1.
Analisa jabatan
2.
Pengumpulan data jabatan
3.
Evaluasi jabatan dan Pembobotan
4.
Grading atau penyusunan struktur
gaji baru
5.
Job pricing atau
penentuan harga jabatan
6.
Pengusulan peringkat dan harga
jabatan kepada Presiden (oleh Meneg PAN).
2.8 Prinsip Dasar
Kebijakan Remunerasi
Prinsip dasar kebijakan Remunerasi adalah adil dan proporsional.
Artinya kalau kebijakan masa laiu menerapkan pola sama rata (generalisir), sehingga
dikenal adanya istilan PGPS (pinter goblok penghasilan sama). Maka dengan
kebijakan Remunerasi, besar penghasilan (reward) yang diterima oleh seorang pejabat
akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga jabatan yang disandangnya.
Sampai dengan saat ini
sudah ada 63 Kementerian / Lembaga yang telah menerima remunerasi berdasarkan
berita dari situs menpan.go.id. Berikut adalah daftar Kementrian
/ Lembaga yang mendapatkan remunerasi pada tahun 2013 yaitu
1. Kemendagri.
2. Kementerian ESDM.
3. Kementerian Kehutanan.
4. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
5. Kementerian Kesehatan.
6. Kementerian Komunikasi dan Informasi.
7. Kementerian Lingkungan Hidup.
8. Kementerian Luar Negeri.
9. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
10. Kementerian Pekerjaan Umum.
11. Kementerian PDT.
12. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
13. Kementerian Perdagangan.
14. Kementerian Perhubungan.
15. Kementerian Sosial.
16. Kemenakertrans.
17. Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional.
18. Badan Intelijen Negara.
19. Badan Koordinasi Keamanan Laut.
20. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika.
21. BNP2TKI.
22. Badan Pengawas Tenaga Nuklir.
23. Badan SAR Nasional.
24. Badan Standarisasi Nasional.
25. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
26. Setjen Dewan Ketahanan Nasional. Setjen Ombudsman.
2.10 Remunerasi Pegawai
Pemerintah
Kinerja
Pegawai pada salah satu instansi pemerintah diukur berdasarkan 2 (dua) aspek
yaitu kedisiplinan dan pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi. Aspek disiplin
memiliki bobot sebesar 60%, dan pelaksanaan Tupoksi sebesar 40%. Perbandingan
bobot aspek disiplin yang lebih besar dibanding pelaksanaan tupoksi didasarkan
pada penilaian disiplin pegawai yang masih kurang. Pegawai negeri masih
memiliki citra buruk, yaitu datang siang pulang cepat, sering meninggalkan
pekerjaan saat jam kerja, atau datang hanya untuk membaca surat kabar. Citra
buruk tersebut dalam kenyataannya memang benar adanya pada beberapa unit
bagian, namun pada umumnya hal tersebut terjadi pada pegawai – pegawai senior
yang kurang memiliki semangat untuk belajar sesuatu yang baru. Sebagai contoh,
banyak pegawai senior yang tidak dapat mengoperasikan komputer, hal ini sangat
menghambat kinerja, karena sebagian besar pekerjaan saat ini dikerjakan
menggunakan komputer. Meskipun demikian, pada umumnya mereka tidak ada
keinginan belajar, sehingga atasan tidak dapat memberikan pekerjaan pada
mereka. Hal tersebut berdampak pada beban kerja yang tidak berimbang antar
pegawai pada suatu unit. Pegawai “baru” yang memiliki kemampuan mengoperasikan
komputer dan berbahasa asing pada umumnya mendapat pekerjaan yang berlimpah,
bahkan menyebabkan jam kerjanya melebihi jam kerja normal (produktifitas
tinggi). Sangat ironi melihat sejumlah pegawai sangat sibuk oleh pekerjaannya
yang tak kunjung usai, sisi lain pegawai lain duduk santai membaca surat kabar
dan saling bercengkrama.
Produktifitas
tinggi pada instansi yang sudah mendapat remunerasi dinilai dan diberikan
penghargaan berupa tunjangan remunerasi, namun hal tersebut tidak terjadi pada
instansi yang belum mendapat remunerasi. Tunjangan remunerasi tersebut
diharapkan dapat menggerakkan pegawai – pegawi yang kurang produktif untuk
lebih aktif memperbaiki diri sehingga mendapatkan tugas atau pekerjaan dari
atasannya. Namun, pada instansi yang sudah memiliki remunerasipun dalam kenyataannya
masih terdapat pegawai yang tidak produktif. Sebagian besar dari mereka merasa
sudah tidak mampu memperbaiki diri dan pasrah dengan keadaan yang ada. Tuntutan
produktifitas dan disiplin yang tinggi menyebabkan mereka merasa terlalu “tua”
untuk mengejarnya. Pada umumnya hal tersebut terjadi pada pegawai yang sudah
mendekati masa pensiun.
Remunerasi
idealnya memang ditujukan untuk meningkatkan produktifitas dan kedisiplinan
serta mengubah budaya kerja pegawai. Hal tersebut tidaklah mudah. Penerapan
sistem remunerasi memerlukan pengawasan atasan langsung dalam menilai kinerja
pegawai di bawahnya. Jika tidak maka banyak pegawai yang “mencari – cari” cara
untuk mendapatkan remunerasi tersebut.
Salah satu
Instansi pemerintah di Jakarta telah berupaya memenuhi persyaratan remunerasi
yang telah ditetapkan Tim Independen Remunerasi. Instansi tersebut telah
membuat beberapa prosedur efisiensi pelayanan berupa percepatan pelayanan
publik, perbaikan informasi public, serta berbagai tools penunjang
untuk dapat mengukur kinerja pegawai, dan kinerja unit kerja di bawahnya.
Diawali dnegan merubah sistem perencanaan yang menggunakan berbagai tools
manajemen seperti Balanced Score Card, menyusun KPI (Key Performance
Indikator), dan membentuk sub bagian manajemen kinerja pegawai sebagai tim
penilai dan pengawas kinerja.
Tim
penilai dan pengawas kinerja harus dapat menerapkan aspek – aspek penilaian
kinerja secara objektif. Aspek – aspek penilaian kinerja yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja menurut Bernardin dan Russel ( 1995 : 383 ) yaitu:
1. Quality,
Merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan mendekati
kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan.
2. Quantity,
merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah, unit, siklus kegiatan
yang dilakukan.
3. Timelinness,
merupakan sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dihendaki,
dengan memperhatikan koordinasi output lain serta waktu yang tersebut untuk
kegiatan orang lain.
4. Cost
effectiveness, merupakan tingkat sejauh mana penggunaan sumber daya organisasi
( manusia, keuangan, teknologi, dan material) dimaksimlkan untuk mencapai hasil
tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya.
5. Need for
supervision, merupakan tingkat sejauh mana seorang pekerja dapat melaksanakan
suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seseorang supervisor untuk
mencegah tindakan yang kurang diinginkan.
6. Interpersonal
impact, merupakan tingkat sejauh mana pegawai memelihara harga diri, nama baik,
dan kerja sama diantara rekan kerja dan bawahan.
Diharapkan
dengan sistem yang telah terbentuk tersebut budaya kerja pegawai instansi
pemerintah dapat berubah dan memperoleh penghargaan lebih atas kinerja mereka
melalui penerapan tunjangan remunerasi.
Menurut
Marli Dahyaridi (2008), Reformasi Birokrasi pada dasarnya mencakup 3 (tiga)
program besar yakni :
1. Reformasi
Birokrasi, merupakan usaha pembenahan profesionalisme pegawai negeri, sistem
kepegawaian nasional, rasionalisasi jumlah pegawai negeri,
penerapan reward & punishment system, dan penataan hubungan antara
birokrasi dengan partai politik;
2. Reformasi
Institusi, merupakan usaha pembenahan dan pembentukan institusi pemerintah yang
efektif, efisien, produktif dan berorientasi kinerja;
3. Reformasi
Sistem Manajemen Keuangan, merupakan usaha pembenahan sistem manajemen
keuangan pemerintah mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan hingga pasca
pelaksanaan, termasuk sistem pelaporan keuangan yang efisien, efektif, dan
berdasarkan prinsip tata kelola yang baik.
4. Reformasi
Birokrasi pertama kali dilaksanakan melalui Reformasi Remunerasi dengan
menunjuk Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung
sebagai Pilot Project Reformasi Remunerasi.
5. Reformasi
Remunerasi merupakan penghargaan (reward) kinerja pegawai pemerintah berupa
tambahan tunjangan kinerja pegawai diluar gaji pokok dengan standar tertentu.
Namun, pembentukan aparatur negara yang bersih, efektif, efisien, produktif,
dan sejahtera melalui remunerasi belum dapat terukur efektifitasnya.
6. Remunerasi
yang telah diterapkan pada beberapa Instansi Pemerintah tersebut di atas
menyebabkan Instansi Pemerintah yang lain berlomba untuk dapat masuk dalam
antrian instansi yang akan mendapat remunerasi selanjutnya. Hal ini
mengindikasikan terjadinya kesenjangan sosial diantara pegawai pemerintah
tersebut. Sebagai contoh, pendapatan pegawai Instansi Pemerintah yang telah
mendapatkan remunerasi untuk golongan II (dua) mencapai Rp. 3 juta per bulan,
sedangkan pegawai dengan golongan yang sama pada Instansi Pemerintah yang belum
mendapatkan remunerasi hanya sebesar Rp. 1,5 juta. Padahal belum tentu pegawai
dengan gaji Rp. 3 juta per bulan tersebut memiliki kinerja yang lebih baik dari
pada pegawai yang mendapatkan gaji Rp 1,5 juta per bulan. Hal tersebut dapat
dikarenakan kinerja mereka tidak terukur dan tidak adanya prosedur yang jelas
dalam pengukuran kinerja.
2.10.1 Perbaikan Sistem Remunerasi
Pegawai Negri
Remunerasi
PNS (Pegawai Negeri Sipil) merupakan sistem penggajian yang dikaitkan dengan
sistem penilaian kinerja yang bertujuan untuk memacu prestasi dan motivasi
kerja PNS. Sebagai bagian penting dari Reformasi Birokrasi, pemberian
remunerasi mutlak mensyaratkan perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang
baik, bersih, bebas KKN, peningkatan kualitas pelayanan publik, adanya
akuntabilitas kinerja birokrasi, dan profesionalisme SDM aparatur negara.
1.
Mempersiapkan penerapan sistem
remunerasi baru melalui kegiatan pengumpulan
informasi jabatan 2007
Tujuannya : memutakhirkan
data tentang jabatan (bukan
tentang orang yang menduduki jabatan itu) dan menyajikannya menjadi informasi
yang berguna untuk berbagai keperluan organisasi.
1. Tanggung Jawab
2. Tugas, Pokok & Fungsi
3. Hubungan Kerja
4. Persyaratan Jabatan
5. Identitas Jabatan
6. Tuntutan Fisik
7. Lingkungan Kerja
2. Penyusunan uraian
jabatan (standar umum) 2007
3. Melakukan
evaluasi jabatan untuk mengukur
bobot Jabatan 2008
4. Penilaian bobot
pekerjaan semua jabatan yang ada 2008
5. Penyusunan
struktur peringkat
jabatan atas
dasar bobot jabatan 2008
6. Penyusunan struktur skala gaji Pegawai Negeri 2008
7. Penerapan struktur gaji baru
(bertahap) 2009/2010
Kaitan Informasi
Jabatan Dengan Sistem Penggajian :
·
Besaran Gaji
Harus Didasarkan Pada “Bobot”
Jabatan (Konvensi Ilo No 100:”Equal Remuneration For Jobs
Of Equal Value” = Pekerjaan Yang “Sama Nilai Atau
Bobotnya” Harus Mendapat Imbalan Yang Sama!)
·
Bobot Jabatan Akan
Ditentukan Melalui Evaluasi Jabatan Yang Memerlukan Informasi Jabatan Yang
Akurat!
2.10.1.1 Latar Belakang Perbaikan
Sistem Remunerasi Pegawai Negeri
1. Amanat
Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian bahwa system penggajian
Pegawai Negeri adalah berdasarkan
merit yang
disebutkan dlm pasal 7
a. ayat 1 : Setiap Pegawai Negeri berhak
memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya
b. ayat (2) : Gaji yang diterima oleh
Pegawai Negeri harus mampu memacu
produktivitas dan menjamin
kesejahteraannya.
2. Remunerasi
yang berlaku saat ini jumlahnya tidak memenuhi kebutuhan hidup layak dan
kondisi seperti ini diduga sebagai pendorong
terjadinya korupsi;
3. Struktur
gaji kurang memenuhi prinsip “equity” karena gaji tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi;
4. Struktur
gaji kurang ideal dan ratio gaji terendahdan tertinggi terlalu kecil (1:3,3);
5. Sistem
pensiun yang kurang menjamin kesejahteraan PNS setelah memasuki masa purna
bakti.
2.10.1.2 Tujuan Dan
Sasaran Perbaikan
Sistem Remunerasi Pegawai Negeri
Tujuan : menyiapkan dan menerapkan sistem remunerasi yang memenuhi prinsip-prinsip merit, equity,
kompetitif guna meningkatkan profesionalisme
dan memacu kinerja PNS.
Sasaran: tersusunnya sistem remunerasi yang dapat mendorong
peningkatanprofesionalisme dan kinerja PNS serta dorongan untuk tidak melakukan korupsi.
2.10.1.3 Tujuan
Sosialisasi
Membahas :
·
Arti Sistem Penggajian
Berbasis Bobot Jabatan,
·
Apa Yang
Harus Dan Bagaimana Pelaksanaan Di Setiap Instansi
·
Kapan Dan Siapa Yang
Melaksanakan
·
Pembiayaan
·
Output Yang Diharapkan
·
Langkah-Langkah
Pelaksanaannya
2.10.1.4 Permasalahan
Sistem Remunerasi Saat Ini
1. Besarnya
gaji kurang memenuhi kebutuhan untuk hidup layak (terendah Rp760.500 dan
tertinggi Rp2.405.400);
2.
Gaji PNS kurang kompetitif di
bandingkan dengan gaji di sektor swasta, khususnya untuk tingkat manajer dan
pimpinan;
3.
Besarnya gaji tidak memenuhi
prinsip “equity” karena gaji tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi,
namun didasarkan pada pangkat dan masa kerja;
4.
Struktur gaji kurang mendorong
motivasi kerja karena jarak antara gaji terendah dan gaji tertinggi terlalu
pendek (ratio 1:3,3) sehingga kenaikan pangkat hanya diikuti dengan kenaikan
penghasilan dalam jumlah yang tidak berarti;
5.
Tunjangan jabatan struktural yang
besar menimbulkan kompetisi yang tidak sehat.
6.
kurang transparan karena disamping
gaji PNS masih menerima sejumlah honorarium dari pos non-gaji sehingga:
a. terjadi distorsi dalam sistem penggajian;
b. jumlah anggaran untuk belanja pegawai sulit diketahui secara pasti
dan sulit dipertanggung jawabkan kepada publik.
2.10.1.5 Remunerasi yang Ideal
Arah Kebijakan Jangka Panjang
(2004-2010), program
reformasi remunerasi Pegawai Negeri diharapkan dapat diarahkan pada
sistem remunerasi yang
adil dan transparan dengan:
1. Merumuskan
struktur gaji berdasarkan klasifikasi jabatan dan bobot jabatan (harga
jabatan);
2.
Merumuskan jenis tunjangan yang
dianggap layak untuk diberikan kepada PNS.
3.
Mengkaitkan sistem penggajian
dengan sistem penilaian kinerja dengan tujuan untuk memacu prestasi dan
motivasi kerja.
4.
Menata sumber-sumber pembiayaan
gaji agar tercipta transparansi dalam system penggajian dan mendorong pengintegrasian anggaran rutin dan pembangunan agar tersedia dana yang cukup bagi pembayaran gaji PN secara
layak. Dengan penerapan struktur gaji Pegawai Negeri ini maka tidak ada lagi honor-honor, dan penghasilan lain diluar gaji dan tunjangan yang resmi ;
5.
Mengupayakan agar penghasilan PNS
disesuaikan dengan dengan tingkat inflasi, antara lain dengan membuat indeks
untuk dijadikan dasar bagi penyesuaian gaji dan tunjangan.
6.
Agar beban anggaran belanja
pegawai tidak terlalu besar maka perlu dirumuskan kebijakan outsourcing untuk
jabatan fungsional umum, khususnya yang menyangkut masalah rekrutmen dan
penggajian.
7.
Menyusun Peraturan Pemerintah
tentang Dana Pensiun dalam menata pengelolaan dana pensiun;
2.10.1.6 Kriteria Kebijakan dan Sistem
Remunerasi yang Efektif
1. Adil (Fair)
2. Mendorong Motivasi
3. Kompetitif (Bersaing)
4. Tepat
5. Memenuhi Ketentuan UU & PP Yang Berlaku
2.10.1.7 Rencana
Perbaikan Sistem Remunerasi Pegawai Negeri
Mengacu pada sistem remunerasi
yang telah pernah diterapkan di Republik Indonesia melalui Peraturan Pemerintah
nomor 200 tahun 1961 (PGPN- 1961) yang menetapkan gaji berdasarkan “harga jabatan”
maka struktur gaji Pegawai Negeri akan didesain berdasarkan jabatan. Didalam
struktur Remunerasi Pegawai Negeri tidak ada tunjangan jabatan tetapi
sebenarnya sudah termasuk didalam gaji (karena setiap jabatan mempunyai harga
jabatan).
2.10.1.8 Struktur
Remunerasi yang Diusulkan
1.
Gaji
Gaji ditetapkan dengan memperhatikan
peranan masing-masing PNS dalam pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan;
Dalam struktur remunerasitidak digunakan istilah gaji pokok tetapi gaji untuk
menghindari dampak keuangan negara terhadap perubahan uang pensiun Pegawai Negeri yang
telah pensiun sebelum peraturan tentang gaji ini
berlaku dan terhadap penerapan Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (pasal
16 ayat (2) tentang tunjangan profesi diberikan
setara dengan 1 kali gaji pokok
guru)
·
Peranan setiap jabatan tersebut diukur
dengan bobot jabatan yang dihasilkan melalui evaluasi jabatan
·
Evaluasi jabatan dilakukan dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut:
a) Pengetahuan
b) Kebutuhan
akan kontrol dan supervisi
c) Jenis
dan kebutuhan akan pedoman
d) Kompleksitas
e) Ruang
lingkup dan dampak
f) Hubungan
interpersonal
g) Lingkungan
kerja
h) Penetapan
besaran gaji berdasarkan klasifikasi jabatan dan peringkat jabatan
i)
Golongan /pangkat yang berlaku
sementara waktu masih digunakan namun untuk eselonisasi kemungkinan tidak kita
gunakan lagi tetapi diganti dengan peringkat jabatan manajerial
2.
Tujangan Hidup (Kemahalan)
·
Tunjangan ini diberikan untuk
kebutuhan pangan, perumahan dan transport yang berbeda nilainya dari setiap
daerah.
·
Besarnya tunjangan dihitung dengan
memperhatikan kebutuhan tingkat biaya hidup di masing-masing daerah;
·
Tunjangan biaya hidup untuk daerah
dibebankan pada APBD masing-masing
3.
Tunjangan Kinerja (Insentif)
·
Tunjangan prestasi diberikan pada
akhir tahun
·
jumlahnya tergantung pada tingkat
prestasi dan pencapaian target/output yang dicapai pegawai berdasarkan hasil
penilaian kinerja tahunan
·
Jumlah maksimum adalah 3 kali
gaji.
4.
Tunjangan Hari Raya
·
Tunjangan diberikan setahun sekali
dan besarnya adalah sama dengan gaji
·
Tunjangan diberikan kepada PNS dan
CPNS yang masa kerjanya minimal 6 bulan
·
Tunjangan diberikan menjelang hari
besar keagamaan.
5.
Tunjangan
Kompensasi
Tunjangan kompensasi
diberikan kepada:
·
PNS yang ditugaskan di daerah
terpencil, daerah yang bergolak
·
PNS yang bekerja di lingkungan
yang tidak nyaman, berbahaya atau beresiko tinggi
·
Besarnya tunjangan ditetapkan
dengan memperhatikan tingkat ketidaknyamanan atau resiko yang dihadapi pegawai
6.
Iuran
bagi Pemeliharaan Kesehatan PNS dan Keluarganya diberikan dalam jumlah yang
minimal sama dengan yang dibayar PNS
7.
Iuran
bagi Dana Pensiun PNS dan THT dengan jumlah yang minimal sama dengan yang
dibayar pegawai.
2.10.1.9 Penutup
·
Penyempurnaan sistem penggajian
merupakan bagian dari upaya penerapan manajemen kepegawaian berbasis kinerja
dan pencegahan KKN
·
Penerapan sistem penggajian yang
berdasarkan sistem merit seyogyanya didahului oleh:
a) Penyusunan
visi dan misi
b) Penyempurnaan
struktur organisasi
c) Penataan
pegawai
d) Penyempurnaan
sistem pensiun
e) Penerapan
sistem perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja
·
Dalam rangka mempersiapkan
penerapan sistem remunerasi baru, Pemerintah perlu membentuk Tim Remunerasi
Nasional yang beranggotakan wakil-wakil dari Kementerian PAN,
Dep.Keu,Depdagri,BKN, LAN, Setneg, Setkab,Polri dan TNI dan Bappenas.
·
Penerapan sistem remunerasi baru dapat
dilaksanakan apabila sudah ada perbaikan gaji pejabat negara.
2.10.2 Remunerasi di kementrian Hukum
dan HAM RI
Sedangkan
yang menjadi payung hukum pemberian remunerasi di Kementerian Hukum dan HAM RI
adalah Peraturan Presiden No. 40 tahun 2011 tentang Tunjangan Kinerja Bagi
Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam Peraturan
tersebut juga dicantumkan nominal tunjangan kinerja berdasarkan kelas
jabatannya (Job Class) masing-masing.
Mengenai
pelaksanaan pemberian remunerasi telah tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum
dan HAM RI No. M.HH-18 KU.01.01. tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pemberian
Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI.
Yang perlu
diperhatikan dalam pemberian remunerasi di Kementerian Hukum dan HAM RI,
tertera dalam bab 2 mengenai komponen penentu besaran tunjangan kinerja yang
tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-18 KU.01.01. tahun
2011.
Dalam
pasal 3 menyebutkan bahwa tunjangan kinerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
diberikan berdasarkan 3 komponen, yaitu:
1. Target
kinerja yang dihitung menurut kategori dari nilai capaian Standar Kinerja
Pegawai (SKP)
2. Kehadiran
menurut hari dan jam kerja di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI serta
cuti yang dilaksanakan oleh pegawai, dan
3. Ketaatan
pada kode etik dan disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Sedangkan
dalam pasal 4 disebutkan bahwa :
1. Tunjangan
kinerja dibayarkan secara proporsional berdasarkan kategori dan nilai capaian
SKP
2. Ketentuan
mengenai kategori dan nilai capaian SKP sebagaiamana dimaksud dalam pasal 3
huruf a serta penerapannya diatur dalam Peraturan Menteri.
Besaran
tunjangan kinerja yang akan diterima tidak mutlak sama dengan besaran yang
ditetapkan sesuai grade karena dipengaruhi oleh beberapa faktor,
misalnya jumlah kehadiran (telah diatur dalam Peraturan Menteri
Hukum dan HAM RI No. M.HH-18 KU.01.01. tahun 2011). Selain itu di masa
yang akan datang, besaran tunjangan kinerja bisa naik atau juga bisa turun,
tergantung dari hasil penilaian Tim Evaluasi Independen.
2.10.2.1 Hak-hak Fundamental Pekerja
2.10.2.1.1 Hak Asasi Manusia
Pada tahun 1944
Konferensi Perburuhan Internasional bertemu di Philadelpia, Amerika Serikat.
Pertemuan ini menghasilkan DEKLARASI PHILADELPIA, yang mendefinisikan kembali
tujuan dan maksud Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Deklarasi tersebut
memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:
·
Tenaga kerja bukanlah
barang dagangan
·
Kebebasan mengeluarkan
pendapat dan kebebasan berserikat adalah penting untuk mencapai dan
mempertahankan kemajuan yang telah dicapai
·
Dimana ada kemiskinan,
di situ kesejahteraan terancam
·
Semua manusia, tanpa
memandang ras, asal usul, atau jenis kelamin, berhak mengupayakan kesejahteraan
jasmani dan rohani dalam kondisi-kondisi yang menghargai kebebasan, harkat dan
martabat manusia, dan kondisi-kondisi yang memberikan jaminan ekonomi dan
kesempatan yang sama.
Deklarasi ini
menjadi pendahulu dan memberikan pola bagi Piagam Bangsa-Bangsa dan Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
ILO pada bulan
Juni 1998 melalui Konferensi Perburuhan Internasional telah mengadopsi
Deklarasi mengenai Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat Kerja, hal
ini menandai penegasan kembali kewajiban universal para negara anggota ILO
untuk menghargai, memasyarakatkan, dan mewujudkan prinsip-prinsip mengenai
hak-hak mendasar yang menjadi subjek dari Konvensi-Konvensi ILO, sekalipun
mereka belum meratifikasi Konvensi-Konvensi tersebut (Indonesia mejadi Anggota ILO sejak
tahun 1950). Saat ini Indonesia telah meratifikasi Lima Belas Konvensi-Konvensi
ILO, dan Delapan diantara adalah Konvensi Inti ILO (Core ILO Conventions) yaitu:
·
Konvensi ILO No. 29
tentang Penghapusan Kerja Paksa
·
Konvensi ILO No. 87
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi
·
Konvensi ILO No. 98 tentang
Hak Berorganisasi dan Melakukan Perundingan Bersama
·
Konvensi ILO No. 100
tentang Pemberian Upah Yang Sama Bagi Para Pekerja Pria dan Wanita
·
Konvensi ILO No. 105
tentang Penghapusan Semua Bentuk Kerja Paksa
·
Konvensi ILO No. 111
tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
·
Konvensi ILO No. 138
tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
·
Konvensi ILO No. 182
tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak.
Timor Leste
menjadi anggota ILO, ke – 177, pada tanggal 19 Agustus 2003. Belum
ada Konvensi Inti ILO yang diratifikasi oleh pemerintah Timor Leste tapi pada
Laporan Governing Body (GB.300/LILS/7 300th Session) dikatakan bahwa - ……The Government
indicated during the 93rd Session (June 2005) of the International Labour
Conference that it was looking into the
ratification of the eight Conventions concerned.
Namun demikian,
pengakuan pada ketentuan dari Konvensi seringkali terhalang oleh hambatan
serius dimana peraturan perundang-undangan tidak mampu menjamin secara
memuaskan jaminan yang ditetapkan Konvensi yang menyangkut langkah-langkah
perlindungan terhadap pelanggaran hak-hak serikat pekerja, baik karena
ketentuanketentuannya tidak cukup mendorong untuk tidak melakukan atau karena
ketentuanketentuan itu menyampingkan kategori-kategori pekerja tertentu
(seperti pembantu
rumah tangga, pekerja pertanian,
pegawai negeri), ataupun juga karena keadaan akan pengakuan kemerdekaan sipil
dan politik dan pengakuan terhadap hak asasi manusia. Hal tersebut menjadi
komitmen terus menerus serikat pekerja untuk pencapaian hak-hak pekerja/serikat
pekerja sebagai legitimasi akan martabatnya sebagai manusia yang dilindungi
oleh hukum/undang-undang/standar-standar internasional perburuhan. Freedom (Kebebasan), Justice (Keadilan), Security(Keamanan)
dan Faith (Keyakinan) adalah nilai-nilai yang
melekat secara tegas pada manusia dimana mereka menemukan martabatnya sebagai
manusia-human dignity (dikatakan oleh Frank
Tannenbourn dalam bukunya ”Philosophy of Labor”). Serikat
pekerja berusaha keras untuk mengembalikan nilai-nilai itu, melalui perjuangan
pencapaian hak-hak pekerja/serikat pekerja. Trade Union Rights are Human Rights.
2.10.2.1.2
Kebebasan Berserikat dan Hak Berunding Bersama
Prinsip-prinsip
dan hak mengenai kebebasan berserikat dan berunding bersama diatur dalam
Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 (diratifikasi melalui Keppres RI No. 83 Tahun
1998) dan Konvensi ILO No. 98 tahun 1949 (diratifikasi pemerintah Indonesia
melalui UU No. 18 tahun 1956).
Konvensi ILO No.
87 tahun 1948
Tujuan dari
Konvensi ini
adalah untuk memberikan jaminan kepada pekerja/buruh dan pengusaha akan
kebebasan untuk mendirikan dan menjadi anggota kelompok, akan kemajuan dan
kepastian dari kepentingan-kepentingan pekerjaan mereka, tanpa sedikitpun ada
keterlibatan negara:
·
Bebas mendirikan
organisasi tanpa harus meminta persetujuan dari institusi publik yang ada
·
Tidak adanya larangan
untuk mendirikan lebih dari satu organisasi di satu perusahaan, atau institusi
publik, atau berdasarkan pekerjaan, atau cabangcabang dan kegiatan tertentu
ataupun serikat pekerja nasional untuk tiap sektor yang ada
·
Bebas bergabung dengan
organisasi yang diinginkan tanpa mengajukan permohonan terlebih dahulu
·
Bebas mengembangkan
hak-hak tersebut diatas tanpa pengecualian apapun, dikarenakan pekerjaan, jenis
kelamin, suku, kepercayaan, kebangsaan dan keyakinan politik.
Konvensi ILO No.
87 ini juga menjamin perlindungan bagi organisasi yang
dibentuk oleh pekerja
ataupun pengusaha, sehingga tanpa adanya campur tangan dari institusi publik, mereka dapat:
·
Bebas menjalankan
fungsi mereka, termasuk untuk melakukan negosiasi dan perlindungan akan
kepentingan-kepentingan pekerja
·
Menjalankan AD/ART dan
aturan lainnya, memilih perwakilan mereka, mengatur dan melaksanakan berbagai program
aktifitasnya
·
Mandiri secara
finansial dan memiliki perlindungan atas aset-aset dan kepemilikan mereka
·
Bebas dari ancaman
pemecatan dan skorsing tanpa proses hukum yang jelas atau mendapatkan
kesempatan untuk mengadukan ke badan hukum yang independen dan tidak berpihak
·
Bebas mendirikan dan
bergabung dengan federasi ataupun konfederasi sesuai dengan pilihan mereka,
bebas pula untuk berafiliasi dengan organisasi pekerja/pengusaha internasional.
Bersamaan itu, kebebasan yang dimiliki federasi dan konfederasi ini juga
dilindungi, sama halnya dengan jaminan yang diberikan kepada organisasi pekerja
dan pengusaha.
Konvensi ILO No.
87 ini juga menyebutkan secara tidak tegas mengenai Hak Mogok, dalam pasal 3 ayat 1 : organisasi pekerja dan organisasi pengusahaberhak menyusun AD/ART
mereka, memilih wakil-wakil mereka dengan kebebasan penuh, menyelenggarkan
administrasi dan kegiatan mereka serta menyusun program mereka”. Dan ditegaskan lagi pada pasal
10 : mendorong dan membela kepentingan pekerja dan pengusaha”.
Hak mogok adalah
hak fundamental bagi pekerja dan organisasi-organisasi mereka sebagi maksud untuk mempromosikan dan membela kepentingan
ekonomi dan sosial mereka
secara syah. Tetapi mogok adalah usaha akhir dari serikat pekerja setelah usaha-usaha yang bersifat
kooperatif atau melalui meja perundingan tidak dapat dicapai kesepakatan. Dan hal
inipun diatur melalui kebiasan dan hukum nasional setempat. Konvensi ILO No. 87 ini juga
dipertegas lagi dengan keluarnya UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh.
Konvensi ILO No.
98 tahun 1949
Maksud dari
Konvensi ini
adalah untuk melindungi hak pekerja untuk berserikat tanpa adanya campur tangan
dari pihak pengusaha. Konvensi ini juga menguraikan prinsipprinsip ILO yang
mendasar mengenai Berunding bersama:
·
Hak pekerja untuk
dilindungi dari berbagai undang-undang diskriminatif terhadap serikat pekerja.
Secara khusus adalah undang-undang yang dimaksud untuk menghalangi pekerja
untuk bergabung dengan serikat pekerja atau yang kemudian menyebabkan pekerja
mengundurkan diri sebagai anggota serikat pekerja. Termasuk pula undang-undang
yang menyebabkan pekerja mendapat tuduhan ataupun dipecat karena aktifitas
maupun keanggotaan mereka di serikat pekerja
·
Hak organisasi buruh
dan pengusaha untuk mendapatkan perlindungan yang layak atas campur tangan dari
masing-masing pihak dalam terbentuknya, berfungsinya dan terlaksananya
organisasi mereka
·
Memastikan peningkatan
perundingan bersama dan sekaligus mempertahankan otonomi para pihak dan sifat
sukarela dari negosiasi sebagai maksud untuk menentukan syarat-syarat dan
kondisi-kondisi kerja
Dalam syarat
melakukan perundingan bersama adalah pengakuan, keperwakilan.
Pengakuan ini
bersifat tidak diwajibkan (optional), dengan maksud agar jangan sampai
organisasi yang paling mewakili diberikan hak-hak istimewa melebihi prioritas
dalam perwakilan untuk melakukan perundingan bersama dibandingkan dengan
organisasi lainnya yang mewakili (bila terdapat lebih dari satu organisasi
pekerja/pengusaha). Perjanjian Kerja Bersama (collective
bargaining agreement) memberikan dua sisi manfaat yang berbeda bagi
serikat pekerja/pekerja dan pengusaha. Bagi serikat pekerja, Perjanjian Kerja
Bersama memberikan manfaat yang lebih khususnya dalam:
·
Nilai kekuatan dengan
banyak anggota yang belum terlibat akan menjadi anggota serikat pekerja
·
Anggota yang aktif
akan mengajak atau mempengaruhi anggota yang belum aktif untuk lebih aktif
menjadi anggota
·
Meningkatkan
kepercayaan anggota
·
Anggota lebih
terorganisir
·
Serta serikat pekerja
menjadi suatu hal yang baik bagi pekerja. Perjanjian Kerja Bersama ini secara
tidak langsung menimbulkan dampak yang menguntungkan meningkatkan daya saing
perusahaan dan sektor bisnis pada umumnya, lebih jauh lagi menimbulkan dampak
positif pada hubungan antara pekerja dan serikat pekerja ditingkat perusahaan
karena perundingan yang komplek tentang pengupahan dan sebagainya telah
ditentukan. Perjanjian Kerja Bersama ini akan menekankan serikat pekerja untuk
lebih hati-hati dalam penggunaan hak mogoknya sebagai upaya yang paling akhir
dan lebih mengedepankan proses dialog atau negosiasi dalam menyampaikan
tuntutannya.
Mengedepanan
prinsip berunding bersama adalah suatu proses :
1. Pencapaian suatu kesepakatan
2. Penyelesaian konflik yang saling menguntungkan kedua belah
pihak (conflik resolution for mutual gain)
3. Menjaga hubungan industrial yang harmonis dalam waktu lama
(maintanance industrial peace).
2.10.2.1.3 Larangan Terhadap Diskriminasi
Konvensi yang
berhubungan dengan promosi Anti Diskriminasi dan Kesamaan Kesempatan dan
Perlakuan (Pekerja Laki-Laki dan Perempuan) dalam Hubungan Kerja dan Pekerjaan
adalah Konvensi ILO No. 100 tahun 1951 (diratifikasi melalui UU No. 80 tahun
1957) dan Konvensi ILO No. 111 tahun 1958 (diratifikasi melalui UU No. 21 tahun
1999).
Konvensi ILO No.
100 tahun 1951 tentang Pemberian Upah Yang Sama Bagi Para Pekerja Laki-Laki dan
Perempuan
Konvensi ini
mengharuskan negara yang meratifikasi untuk mengambil langkah memajukan dan
(dimana hal ini konsisten dengan metode yang dibuat untuk penetapan upah)
memastikan pelaksanaan prinsip dari kesaman pengupahan bagi tenaga kerja
perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang sama nilainya. Persyaratan ini
melampaui kesamaan perlakuan untuk pekerjaan yang “sama” atau “sejenis” dimana
nilai dari jenis pekerjaan yang berlainan harus dibandingkan tanpa diskriminasi
atas dasar jenis kelamin.
Prinsip ini
berlaku untuk gaji dasar biasa, dan pada penghasilan tambahan lainnya, baik
dalam bentuk tunai atau barang, yang dibayarkan oleh pengusaha. Kesamaan
pengupahan adalah hak dasar yang ditetapkan oleh ILO dalam Deklarasi
Prinsip-Prinsip Dasar dan Hak-Hak di tempat Kerja. Hal ini secara langsung
berhubungan dengan isu pengurangan kemiskinan dan peningkatan pembangunan.
Bertambahnya pendapatan perempuan kemungkinan besar akan digunakan untuk
meningkatkan investasi kesehatan dan pendidikan anak.
Konvensi ILO No.
111 tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
Konvensi ini
dimaksudkan untuk mempromosikan kesamaan kesempatan dan perlakuan guna mengakhiri segala bentuk
diskriminasi dalam kesempatan kerja dan pekerjaan.Istilah “DISKRIMINASI” didefinisikan dalam Konvensi
sebagai segala bentuk pembedaan, penyisihan atau pilihan yang dibuat
berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, asal
bangsa atau tata masyarakat yang meyebabkan peniadaan atau pengurangan kesamaan
kesempatan atau perlakuan dalam kesempatan kerja dan pekerjaan. Diskriminasi
harus ditiadakan dalam akses ke pelatihan kerja, pekerjaan dan kerja khusus dan
serta syarat dan kondisi pekerjaan. Konvensi ini diperkuat lagi dengan UU No. 7
tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW)3. 3CEDAW (Convention on the Elimination
of All Forms Discrimination Against Women). Konvensi ini diadopsi oleh
Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1979, merupakan perjanjian
internasional tentang perempuan yang paling komprehensif dan menetapkan
kewajiban hukum yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi terhadap
Perempuan
diseluruh dunia disatukan melalui permasalahan-permasalahan yang sama – ketidakberuntungan;
Mendapatkan kualitas
pendidikan formal yang rendah, halangan dalam pekerjaan karena beban tanggung
jawab keluarga-akses untuk pelatihan dan promosi kerja, bekerja pada
sektor-sektor tertentu yang menempatkan mereka pada posisi upah rendah, mereka
juga sedikit akses untuk mendapatkan upah tambahan seperti bonus atau
penghargaan. Melalui kedua Konvensi tersebut diatas, telah jelas diuraikan
bahwa para pekerja lakilaki dan perempuan mempunyai hak yang sama dan terhindar
dari diskriminasi. Serikat pekerja mempunyai peran yang jelas dalam
mempromosikan kesetaraan jender (promoting Gender Equality), untuk
menjadikan Konvensi-Konvensi ini menjadi nyata didalam pelaksanaannya.
2.10.2.1.4 Penghapusan Kerja Paksa
Kerja paksa
ditemukan dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah, dan tidak menutup kemungkinan saat
ini masih berlangsung praktek tersebut meskipun dalam bentuk yang berbeda (modern slavery/manpower exploitation.
perbudakan modern/eksploitasi tenaga kerja, karena kepentingan-kepentingan
praktek-praktek bisnis semata dan mengesampingkan hak dan harkat hidup
manusia). Kerja paksa/kerja yang dipaksakan dapat meyuburkan kemiskinan, dan
menghalangi pelaksanaan hak asasi manusia mendasar lainnya seperti kebebasan
berserikat dan kebebasan dari diskriminasi. Konvensi yang mengatur tentang
penghapusan kerja paksa adalah Konvensi ILO No. 29 tahun 1930 (diratifikasi oleh
Pemerintah Belanda pada tanggal 31 Maret 1933,Ned.Stbl.No.26, 1933 jo Ned.Stbl.
No.236, 1933. Dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Stbl. No. 261, 1933) dan
Konvensi ILO No. 105 tahun 1957 (diratifikasi melalui UU No. 19 tahun 1999).
Konvensi ILO No.
29 tahun 1930
Mengharuskan
negara yang meratifikasi untuk menghentikan penggunaan kerja paksa atau kerja wajib dalam segala
bentuknya dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kerja
paksa atau wajib kerja secara luas didefiniskan sebagai”semua kerja atau jasa
yang dituntut dari seseorang dibawah ancaman hukuman dan bahwa si pekerja
tidak menawarkan jasanya secara sukarela”
Konvensi ILO No.
105 tahun 1957
Konvensi ini
memperkuat Konvensi ILO No. 29. Konvensi ILO No. 105 tahun 1957 menentukan
penghapusan kerja paksa untuk lima situasi khusus yang berhubungan dengan
penindasan politis, yaitu kerja paksa atau wajib yang digunakan:
1. Sebagai cara penekanan atau pendidikan politik atau sebagai
hukuman untuk pemahaman atau pernyataan pandangan politik atau pandangan yang
secara ideologis bertentangan dengan system politik,sosial atau ekonomi yang syah;
perempuan. Konvensi ini menetapkan persamaan kesempatan perempuan dan laki-laki
untuk menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya
2. Sebagai cara untuk pengembangan ekonomi
3. Sebagai cara untuk membina disiplin tenaga kerja
4. Sebagai hukuman karena keikutsertaan dalam pemogokan
5. Sebagai cara pelaksanaan diskriminasi rasial, sosial,
bangsa atau agama.
2.10.2.1.5 Penghapusan Pekerja Anak
Anak adalah aset
suatu bangsa, penerus generasi suatu bangsa. Perlindungan terhadap mereka merupakan
satu elemen penting dalam upaya untuk mencapai keadilan sosial dan perdamaian
universal. Perburuhan anak-anak amat bertentangan dengan upaya menumbuh-kembangkan
kemampuan anak sebagai manusia, nilai-nilai universal mengenai pekerjaan yang
layak (decent
work4) dan menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia, serta upaya penanggulangan kemiskinan.
Perburuhan
anak-anak berdampak buruk terhadap kesehatan dan pendidikan anak-anak, bahkan
tidak jarang mengakibatkan kematian. Konvensi yang mengatur mengenai penghapusan
pekerja anak adalah Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 (diratifikasi melalui UU
No. 20 tahun 1999) dan Konvensi ILO No. 182 tahun 1999 (diratifikasi melalui UU
01 tahun 2000).
Pekerja Maju
Untuk Menang Dalam Serikat Pekerja
Apa yang telah
diuraikan diatas adalah suatu standard yang paling mendasar(Findamental
Standards) Organisasi Perburuhan Internasional. Ketentuan-ketentuanyang
tercantum dalam standar tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyusun
perundang undangan nasional. Karena itu, Konvensi-Konvensi
PerburuhanInternasional memiliki dampak yang terus berlanjut di luar
kewajiban-kewajiban hukum yang
ditimbulkan. Setiap
anggota Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mempunyai komitmen, yang dipertegas melalui Deklarasi
Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat Kerja “ untuk menghargai,
memasyarakatkan, dan mewujudkan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja”.
Hak pekerja/serikat pekerja adalah hak asasi manusia. Semua
hak-hak yang dibicarakan dalam serikat pekerja; hak – hak dasar, hak – hak
fundamental, ILO Core Conventions – Konvensi Inti ILO atau nama – nama lainnya,
sesungguhnya adalah sama yaitu termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi
permasalahan yang 4 Decent
work – the heart of social progress. “The primary goal of the ILO today is to promote opportunities for
women and men to obtain decent and productive work, in conditions of freedom,
equity, security and human dignity.” - ILO Director-General Juan Somavia.
Decent work should be at the heart of global, national and local strategies for
economic and social progress. It is central to efforts to reduce poverty, and a
means for achieving equitable, inclusive and sustainable development. The ILO
works to promote decent work through its work on employment, social protection,
standards and fundamental principles and rights at work and social dialogue.
dihadapi saat ini adalah TIDAK SEMUA pekerja menyadari bahwa mereka mempunyai
hak tersebut ataupun tidak berani”meminta” hak tersebut. Sebagai perorangan
pekerja tidak akan pernah mampu memperjuangkan kepentingannya (“meminta
haknya”) atas apa yang telah dilakukan sebagai kewajiban. Mereka membutuhkan
organisasi, serikat pekerja, untuk pencapaian dan pemenuhan hak-haknya.
2.11 Tantangan Remunerasi
Merancang
program Remunerasi merupakan suatu proses yang kompleks. Ini bukan hanya
melakukan penelitian gaji dan menempatkan bilangan pada selembar formulir. Di
masa lalu, mereka yang mengurusi Remunerasi harus memahami proses perencanaan,
proyeksi, dan pengaturan. Mereka juga harus terbiasa dengan prosedur statistik
Sebagai tambahan, mereka harus mampu mengumpulkan data dari banyak sumber dan
mengatur data menjadi struktur sehmgga setiap orang dapat memahami dan
menggunakannya. Struktur tersebut harus memenuhi kebutuhan yang layak dan
permintaan karyawan dan manajer dan juga sesuai dengan fflosofi organisasi dan
kemampuannya untuk membayar. Semuanya ini tidak dapat dicapal melalui metode
sembarangan. Ini memerlukan pengembangan suatu sistem. Seperti yang telah kita
bahas sebelumnya, orang memahami nilai uang dalam kehidupan mereka. Orang-orang
boleh jadi melakukan banyak tindakan manajerial yang tidak keliru, namun ketika
berurusan dengan pembayaran mereka menjadi sangat cermat.
Dalam
organisasi masa kini, yang berubah-ubah dan lebih informal struktur pekerjaan
sedang berubah. Sistem Remunerasi tradisional yang strukturnya rumit tidak
disukai karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ahli profesional
penggajian harus meniadi lebih tanggap dan fleksibel. Jelas bahwa pekerjaan
saat ini membutuhkan kompetensi. Bentuk organisasi yang baru mengharuskan orang
untuk menghabiskan lebih banyak waktu pada kerja sama tim dan proyek. Oleh
karena itu, job description yang lama yang berkaitan dengan tingkat
pembayaran mulai menjadi usang. Setelah mulai muncul sistem baru, muncul
kebutuhan mendesak untuk memonitor dan mengukur secara objektif hasil kerja
sistem.
Dengan
menyelidiki proses dari awal hingga sistem Remunerasi dan hasilnya, seseorang
dapat menemukan petunjuk untuk melakukan penilaian. Potensi kekeliruan terjadi
ketika dilakukan pengukuran kegunaan dan hasil dari sistem dan ketika
menyiratkan bahwa ini diseja-jarkan dengan produktivitas atau efektivitas
departemen Remunerasi. Pada satu sisi ini benar, pada sisi lain ini tidak
benar. Poin ini penting dan masalahnya cukup kompleks sehingga kita butuh waktu
untuk menentukan dasar pemikiran kriteria pengukuran yang berbeda.
Pertama,
mengacu kepada definisi kita akan produktivitas dan efektivitas, Saudara ingat
bahwa “produktivitas” berkaitan dengan tingkatan hasil kerja dalam
aktivitas yang berharga. Efektivitas ialah melakukan hal yang benar—memperoleh
hasil yang diinginkan. Dua isu ini secara semantik berbeda tetapi secara
pragmatis tidak terpisahkan. Adalah sulit untuk membayangkan performa efektif
yang dilakukan dalam suatu cara yang tidak produktif. Meskipun demikian, saya
akan menawarkan cara untuk melihat departemen Remunerasi dari dua sisi sudut
pandang produktif dan sudut pandang efektif.
Departemen
Remunerasi mencoba untuk memenuhi peranan organisasi dalam membantu menarik,
mempertahankan, dan member insentif karyawan dengan melakukan beberapa hal
berikut ini:
·
Membentuk sistem manajemen kinerja dan
penggajian yang sesuai dengan kebutuhan organisasi yang berkembang.
·
Mengatur biaya program penggajian tidak hanya
dengan memonitor biaya tetapi juga dengan memengaruhi cara manajer menggunakan
program.
·
Staf penggajian mencoba untuk mengomunikasikan
sistem penggajian dan manajemen hasil kerja kepada karyawan sehingga mereka
akan memahami bagaimana dan mengapa sistem berjalan seperti itu.
·
Departemen penggajian, dengan memonitor
pelaksanaan penggajian dari manajemen, berusaha meyakinkan karyawan bahwa
sistem pembayaran itu bersifat adil, seimbang, dan kompetitif.
Cara untuk
menilai produktivitas atau efektivitas departemen Remunerasi ialah dengan
melihat setiap inti aktivitas secara terpisah, dimulai dengan rancangan sistem.
Pertanyaannya ialah, Apakah sistem penggajian sesuai dengan struktur organisasi
dan filosofi manajemen? Seiring perubahan pasar dan organisasi, sistem
penggajian harus dirancang ulang. Banyak metodologi penggajian alternatif yang
hilang. Penggajian berdasar keahlian ialah satu pendekatan yang memiliki
potensi untuk mengatasi kekurangan sistem penggajian tradisional dan memenuhi tantangan
sistem penggajian saat ini. Cara ini juga merupakan salah satu inovasi
Remunerasi yang paling cepat bertumbuh seiring dengan lebih banyak lagi
organisasi yang mencari cara untuk membuat hubungan langsung antara kinerja
organisasi, kontribusi individu, dan gaji. Pembayaran insentif
dan broadbanding(teknik untuk mengelompokkan struktur gaji yang berbeda,
ini digunakan oleh Departemen Penggajian dalam Manajemen Sumber Daya Manusia)
adalah dua metodologi lainnya yang masih sangat digemari. Pendekatan baru
sedang diuji dalam banyak organisasi; bahkan karyawan bertanggung jawab atas
penentuan gaji mereka. Pesan di sini ialah profesional Remunerasi harus
memiliki keahlian baru dan kreatif untuk merancang sistem gaji di masa depan
dan menghadapi tantangan yang berlanjut dari kompetisi bisnis dan survival
ekonomi.
Pengontrolan
biaya merupakan aktivitas departemen Remunerasi. Meskipun demikian, hasil dari
aktivitas tersebut ialah di luar departemen. Tentu saja biaya merupakan suatu
fungsi dari bagaimana komponen sistem ditangani. Sebagai contoh, menulis
deskripsi tugas pekerjaan dan menentukan tingkat pekerjaan memengaruhi biaya
gaji. Saudara dapat mengukur produktivitas dengan menghitung berapa lama waktu
yang diperlukan analisis Remunerasi untuk menulis suatu deskripsi tugas
pekerjaan atau tingkatan satu kelompok kerja. Saudara juga dapat menggunakan
pihak ketiga untuk melaksanakan tugas ini dan menghasilkan produktivitas yang
serupa. Meskipun demikian, efektivitas pekerjaan diukur berdasar apa yang
terjadi ketika manajer menggunakan penjelasan ini dan melakukan penggajian.
Pekerjaan
dilakukan secara efektif jika manajer dapat menarik, mempertahankan, dan
menyediakan insentif untuk orang, sambil tetap berada di dalam anggaran gaji.
Berdasarkan defmisi, jika suatu sistem mencapai tujuannya dan melakukannya
dengan tingkat kepuasan yang dapat diterima maka sistem ini efektif. Bagian
kedua dari definisi ini mengarah kepada poin inti ketiga dari pengukuran
Remunerasi.
Kepuasan
karyawan adalah suatu fenomena yang berada di luar departemen penggajian, namun
ini tergantung pada sebagian pekerjaan staf penggajian. Sejumlah sarana
tersedia bagi departemen penggajian untuk menjelaskan sistem kepada karyawan.
Metode yang paling langsung ialah pertemuan dan menulis laporan resmi baik
secara elektronik maupun di atas kertas. Meskipun demikian, metode yang amat
penting ialah cara bagaimana manajer menggunakan program. Peranan manajer
penggajian ialah untuk memastikan bahwa anak buahnya yang berada di posisi
pengawasan menangani sistem sesuai dengan cara yang diharapkan. Cara terbaik
untuk menentukan hal itu ialah melalui survei karyawan dan wawancara keluar.
Ketika berkaitan dengan persoalan penggajian, orang jarang merasa enggan untuk
memberi tahu Saudara akan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Sumber data
efektivitas yang tidak begitu formal tetapi mudah diakses ialah umpan balik
(feedback) harian. Staf Saudara biasanya mengetahui bagaimana orang berpikir
mengenai gaji mereka. Mereka mendengar hal tersebut di sepanjang waktu jika
mereka memelihara hubungan baik dengan karyawan. Jika karyawan memahami dan
setuju dengan program penggajian, adalah hal wajar untuk mengatakan bahwa staf
telah melakukan pekerjaan yang efektif. Mereka juga mendengar soal ini dari
kelompok kepegawaian. Jika mereka tidak dapat merekrut karyawan baru oleh
karena gaji yang ditawarkan rendah, Saudara pasti tahu apa ini artinya.
Ringkasnya,
relatif mudah untuk mengukur produktivitas staf Remunerasi. Terutama ini
memerlukan penilaian seberapa efisiennya mereka dan/atau vendor luar dalam
melaksanakan tugas mereka. Efektivitas lebih ambigu karena efektivitas
merupakan istilah subjektif. Untuk memperoleh satu penilaian yang baik tentang
efektivitas, kita perlu menciptakan suatu gabungan yang terdiri dari variabel
hasil eksternal. Meskipun gabungan ini tidak serapi satu ukuran tunggal yang
tegas, cara ini merupakan satu-satunya jalan untuk menghasilkan indikator yang
bermanfaat.
2.12 Mempertahankan Sistem yang
Berjalan
Salah satu
pernyataan yang paling benar mengenai struktur gaji ialah struktur gaji tidak
boleh kaku dan harus dinamis. Di masa lalu, ini berarti tinjauan tahunan
terhadap tingkat pembayaran. Struktur berubah hanya jika peristiwa yang
signifikan terjadi. Dewasa ini, dan beberapa tahun ke depan, strukturnya
menjadi kurang permanen. Organisasi masih melakukan eksperimen, mencoba untuk
mengatur gaji dan biaya. Adalah menarik untuk melihat organisasi bergerak ke
metode baru seperti broadbanding, dan kemudian secara bertahap memodifikasinya.
Dengan
kecenderungan menuju ke arah teamwork (kerja tim), komponen yang menyatukan
satu struktur gaji sebagai satu kesatuan harus dimonitor secara terus-menerus.
Oleh karena pekerjaan berubah, maka pekerjaan harus diperluas. Seorang manajer
yang proaktifakan berpikir ke depan untuk melihat perubahan dan gejala
struktural.
Mengaudit
job deskripsi hanyalah bagian dari proses. Uraian tugas pekerjaan menolong
perekrut yang memerlukan informasi paling baru untuk mengisi pekerjaan.
Meskipun demikian, struktur gaji tidak akan bermanfaat kecuali diikuti dengan
evaluasi. Oleh karena itu, sistem pemeliharan yang teratur adalah dua langkah
proses. Ketika deskripsi pekerjaan ditulis ulang maka evaluasi pekerjaan
dilakukan dan struktur dirancang ulang. Tujuan pemeliharaan dapat ditentukan
untuk deskripsi, evaluasi, dan leveling. Rumus berikut ini menghasilkan faktor
evaluasi pekerjaan.
2.13 Perkembangan
Remunerasi Ke Depan
Remunerasi dimulai dari Kementerian Keuangan sejak Tahun
2007, namun sebelumnya Kementerian Keuangan sudah memperoleh Tunjangan Khusus
Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) sejak Tahun 1971, dengan Keppres Nomor 15
Tahun 1971, dari tahun tersebut tunjangan yang diterima adalah 9 x gaji pokok
berkurang menjadi 8 x gaji pokok kemudian 7 x gaji pokok seluruh PNS, setelah
penghasilan pegawai hampir sama dengan pegawai Kementerian lain, maka TKPKN
pegawai kementerian Keuangan naik lagi, namun tidak didasarkan pada berapa kali
gaji malainkan dengan pola perhitungan tertentu. Remunerasi dikaitkan dengan
Reformasi birokrasi
Terdapat masalah-masalah besar yang menghambat pembangunan Indonesia dewasa ini yaitu :
Terdapat masalah-masalah besar yang menghambat pembangunan Indonesia dewasa ini yaitu :
1.
Birokrasi masih
dirasakan masyarakat adalah gemuk,lebar dan lamban
sehingga belum profesional
sehingga belum profesional
2.
Belum mampu memberikan
pelayanan prima kepada investor
3.
Masih banyak ditemukan
KKN,penyelewengan dan penyalahgunaan
keuangan negara diberbagai instansi
keuangan negara diberbagai instansi
4.
Korupsi masih
membudaya dan membahayakan laten dan dilakukan
terselubung dan merugikan masyarakat dan negara
terselubung dan merugikan masyarakat dan negara
5.
Belum memadai
infrastruktur dan memerlukan dana yang cukup besar
6.
Anggaran negara belum
bisa memenuhi kekurangan infrastruktur
Berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, Pemerintah
berupaya untuk mengatasi dan menyusun program-program berkelanjutan menjadi 9
(sembilan) areal perubahan dalam program percepatan Reformasi Birokrasi yaitu :
1.
Penataan struktur
birokrasi
2.
Penataan jumlah dan
distribusi pegawai
3.
Sistem seleksi dan
promosi secara terbuka
4.
Profesionalisasi
pegawai
5.
Pengembangan sistem
elektronik pemerintah (E-Goverment)
6.
Peningkatan Pelayanan
Publik
7.
Pengingkatan
Transparansi dan Akuntabilitas Aparatur
8.
Efisiensi Penggunaan
Fasilitas, Sarana dan Prasarana
9.
Peningkatan Kinerja
Pegawai
Setiap tahapan Reformasi Birokrasi tersebut dilaksanakan
akan membawa dampak, baik berupa penghematan anggaran,peningkatan penerimaan
negara maupun peningkatan pelayanan masyarakat.
2.14 Faktor
Evaluasi Pekerjaan
Faktor
evaluasi pekerjaan sering menjadi hambatan dalam kaitannya dengan besaran
remunerasi yang akan diterima karyawan, satu rumusan yang dapat digunakan untuk
mengukur pekerjaan yang telah dievaluasi. Rumus yang dimaksut dapat dilihat
sebagai berikut:
JEF = (JE/J)*100%
Dimana :
JFF = Persentase pekerjaan yang telah dievaluasi
dan disamaratakan
JE = Jumlah pekerjaan yang telah dievaluasi dan
disamaratakan
J = Total jumlah pekerjaan dalam sistem
Contoh :
Diketahui jumlah pekerjaan yang telah
dievaluasi dirata-ratakan 207. Sedangkan total jumlah pekerjaan dalam sistem
238. Berapa persenkah pekerjaan yang telah dievaluasi dan disamaratakan?
Jawab :
JEF =
X 100 = 86,97 % = 87%
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pekerjaan yang telah dievaluasi dan disamaratakan mencapai 87%.
Cara
lain untuk melihat vitalitas dari suatu sistem ialah mendekatinya dari sudut
pandang pengecualian. Berapa banyak pengecualian yang ada di dalam struktur,
atau seberapa sering waktu yang diperlukan untuk melakukan penyesuaian dalam
meraih tujuan yang bermanfaat ? dua contohnya merupakan pengecualian
peningkatan gaji dan penyesuaian gaji, dan biasanya untuk sekelompok pekerjaan.
Pada
kasus pertama, adalah perlu untuk mengetahui berapakah persentase karyawan yang
memiliki gaji melebihi maksimal untuk tingkatan mereka. Perhitungannya
sederhana seperti yang ditunjukkan di bawah ini.
2.15 Faktor Pengecualian Gaji
Faktor pengecualian dalam pemberian
gaji sering juga menjadi hambatan dalam melaksanakan remunerasi, namun rumusan
ini layak dijadikan acuan dalam menghitung persentase karyawan yang menerima
gaji di atas maksimum gaji pada umumnya. Rumusannya dapat dilihat sebagai
berikut :
SRF = (EX/X)*100%
Dimana :
SRF = Persentase
karyawan yang menerima gaji di atas maksimum gaji
EX = Jumlah
Kelebihan Gaji
E = Jumlah Gaji
karyawan rata-rata
Contoh :
Gaji Tedi melebihi rata-rata karyawan
lain, yaitu Rp 600.000 di atas gaji rata-rata yang diterima karyawan lain.
Dimana rata-rata gaji yang diterima karyawan PT AB Rp 14.000.000
Jawab :
SRF =
X 100% = 4.28 % = 4.3 %
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Persentase karyawan yang menerima gaji di atas maksimum gaji mencapai 4,3%.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Remunerasi
bertugas melakukan perawatan yang pencapaian efisiensinya dapat dievaluasi. Meskipun
demikian, hasilnya hanya menjadi perhatian bagi manajemen Remunerasi dan sumber
daya manusia. Program Remunerasi mempunyai tujuan yang cukup luas, penting, dan
kompleks. Untuk menggapai misinya, kita harus menciptakan dan memelihara
struktur dan kita dapat mengaudit seberapa baik struktur itu dalam memenuhi
tanggung jawabnya.
Tugas lain
dari Strategi Mengelola Remunerasi ialah memenuhi kebutuhan organisasi secara
wajar dan juga memenuhi kebutuhan semua karyawan secara adil. Kita dapat
melacak penggunaan sistem untuk melihat seberapa baik sistem ini beroperasi
berdasarkan standar dan tujuan yang ditetapkan lebih dahulu. Oleh karena
pembuatan ekuitas pembayaran merupakan misi utama, kita dapat melihat pada
hasil penggunaan sistem untuk menentukan apakah gaji didistribusikan secara
tepat kepada seluruh kelompok. Kita juga dapat mengukur biaya upah dan gaji dan
mengecek untuk melihat apakah ini sudah berada dalam kisaran yang dapat
diterima. Kita juga dapat mengukur sikap karyawan terhadap sistem penilaian
gaji dan performa.
Gaji adalah
salah satu dari tiga hal yang paling penting untuk setiap karyawan. Dua hal
lainnya adalah pekerjaan itu sendiri dan relasi dalam dunia kerja. Gaji adalah
hal yang sangat pribadi. Ini seperti sebuah kartu catatan individu. Ketika
orang merasa bahwa perencanaan dan administrasi penggajian tidak berjalan
dengan baik, maka orang akan menjadi marah. Kehilangan orang berbakat akan
merugikan perusahaan. Profesional Remunerasi harus memastikan bahwa supervisor
dan manajer harus menata sistem penggajian sebaik-baiknya.
Tunjangan
Renumerasi yang telah ditetapkan di beberapa instansi pemerintah hendaknya di
tinjau kembali efisiensi dan efektifitasnya mengingat beban kerja yang tidak
merata. Dan perlu adanya pengawasan dan pengecekan ulang agar tidak terjadi
tindakan KKN (Korupsi,Kolusi,Nepotisme) di instansi pemerintah.
BAB IV
DAFTAR PUSAKA
http://diahtyas8.wordpress.com/2010/11/23/remunerasi-sebagai-penghargaan-kinerja-pegawai-pemerintah/