Kamis, 16 Oktober 2014

Cerpen - Kasih Sayang Tak Ternilai


Kasih Sayang Tak Ternilai

       

         Pada saat pulang sekolah Hendra bersama teman-temannya yaitu Ari, Agus dan Sandy singgah ke suatu pondok di pinggir jalan tempat biasa mereka bermain sepulang sekolah. Disana mereka menghabiskan waktu mulai tengah hari sepulang sekolah sampai hari gelap. Disana ke-empat anak tersebut merokok dan sambil bermain kartu, diselingi bermain gitar dan mengobrol.
         “Eh kita kan udah kelas 3 sebentar lagi mau UN, masa kita ga ada perubahan sih, gini-gini aja tiap hari ga pernah belajar gimana mau lulus?” kata Sandy.
         “Ah nyantai aja kali, UN masih 6 bulan lagi, yah paling juga kaya tahun kemaren lagi, bocoran dimana-mana, ga usah diambil pusing!” jawab Hendra.
         “Ah lo sih enak br, bokap lo kepala yayasan sekolah jadi ga mungkin kalo lo ga lulus” kata Agus.
         “Nah betul tuh kata Agus, kayanya w mau fokus skolah dulu deh.” kata Ari.
         “Ah cupu loo!!!” ejek Hendra (sambil tertawa dengan yang lain)
         Perbincangan mereka terus berlanjut sampai sore tiba, satu per satu dari mereka mulai meninggalkan tempat tersebut, kecuali Hendra. Hendra lebih memilih menghabiskan waktu diluar rumah dibandingkan di rumahnya sendiri. Karena jika ia pulang ke rumah, di rumahnya tidak ada orang, ayah dan ibunya sibuk bekerja masing-masing, dan selalu pulang tengah malam. Hendra hanya anak tunggal di keluarganya.
         Di pagi harinya, saat Hendra bangun, ia melihat kedua orang tuanya sudah rapih dan siap berangkat ke kantor masing-masing. Hendra hanya sarapan sendirian di rumahnya. Hatinya sangat sedih, dan kadang merasa iri dengan teman-temannya.
         Di sekolah Hendra merasa gelisah karena hari ini ada pelajaran yang ia tidak sukai yaitu Agama. Dan yang membuat gelisah adalah praktek membaca Al-Qur’an. Hendra tidak bisa membaca Al-Qur’an karena ia tidak pernah mengaji dan kedua orang tuanya pun tidak pernah mengajarkan Hendra mengaji.
         Saat namanya dipanggil oleh Pak Ahmad, tubuh Hendra pun gemetar untuk melangkah ke depan.
         “Hendra coba kamu baca surat ini!” kata Pak Ahmad (sambil menunjukkan ke Al-Qur’an)
         Hendra hanya terdiam
         “Kenapa kamu diam? Kamu ga bisa baca yah?” tanya Pak Ahmad
         “Iya Pak saya tidak bisa.” Jawab Hendra sambil tertunduk malu.
         Kemudian seisi kelas pun menertawakannya, termasuk Ari, Agus dan Sandy. Hendra pun merasa malu dan kesal kepada teman-temannya hatinya berontak tetapi ia hanya bisa diam. Pak Ahmad pun menenangkan suasana kelas.
         “Semuanya diam, Hendra pulang sekolah kamu ke meja bapak yah nanti. Sekarang kamu duduk.”
         Pelajaran pun di lanjutkan dan Hendra hanya terdiam sampai bel pulang sekolah. Saat Hendra ke ruang Pak Ahmad ia merasa sangat takut akan dimarahi akan tetapi saat ia bertemu dengan Pak Ahmad, Pak Ahmad bukan memarahinya tetapi malah menasihatinya.
         “Hendra kamu sudah kelas 3 SMA sampai kapan kamu mau terus-terusan seperti ini, kalau kamu tidak pernah mau belajar, kamu tidak akan bisa, mafaatkanlah sekolah yang tinggal beberapa bulan lagi, masih banyak orang diluar sana yang ingin sekolah tetapi mereka tidak mampu, ingatlah kepada penciptamu, tanpanya kamu tidak akan ada di dunia ini, agama adalah penegak segalanya” kata Pak Ahmad.
         Hendra pun terus mendengarkan nasihat-nasihat Pak Ahmad, dan sepulang dari sekolah, ia tidak langsung pulang ke rumah, tetapi bukan ke pondok melainkan ia hanya duduk seorang diri di pinggir taman yang berkolam. Ia terus memikirkan nasihat-nasihat dari gurunya tersebut. Lamunan Hendra terhenti saat ada seorang anak kecil laki-laki yang mengamen di hadapannya.
         “Kamu kenapa tidak sekolah?” tanya Hendra kepada pengamen itu.
         “Saya sekolah pagi ka, sepulang sekolah saya ngamen.” Jawab anak itu.
         “Kenapa kamu mengamen?” tanya Hendra lagi.
         “Saya terpaksa ngamen ka, untuk biaya sekolah saya.” Kata anak itu.
         “Emang orang tua kamu ga ngasih duit? Rumah kamu dimana? Boleh gak kaka kesana?” tanya Hendra.
         “Orangtua saya hanya bisa untuk mencari uang untuk makan aja ka, itu juga masih kurang, rumah saya di perkampungan pemulung situ ka, boleh ikut tapi selesai saya ngamen dulu ka.” Kata anak itu.
         “Oh ya udah kaka ikut kamu deh, nama kamu siapa? Ayo jalan” ajak Hendra.
         “Nama saya Agil ka.” Jawab pengamen.
         Diperjalanan mereka berdua saling bercerita tentang kehidupan masing-masing dan baru kali itu juga Hendra tidak merasa kesepian, dan merasa nyaman bercerita dengan seseorang. Hendra sangat terharu mendengar  cerita Agil.
         Tidak terasa hari sudah mulai sore dan tibalah mereka ke sebuah masjid. Agil mengajak Hendra untuk sholat Ashar bersama, namun Hendra menolak ajakan itu, karena ia tidak hafal bacaan-bacaan sholat. Hendra pun menceritakan masalah tersebut kepada Agil.
         Selesai sholat mereka berdua pulang ke rumah Agil. Disana Hendra sangat terharu melihat suasana perumahan yang kumuh dan tidak layak, bau disana sangat menyengat. Hendra bertemu dengan kedua orang tua Agil, disana Hendra sangat merasa iri dengan keluarga itu, karena disana penuh dengan kebersamaan. Dan kedua orang tua Agil sangat menyayangi anaknya. Mereka selalu makan bersama, sholat berjamaah bersama, dan pada malam harinya berkumpul mengobrol bersama.
         Tidak terasa waktu sudah malam, Hendra pun berpamitan untuk pulang kerumahnya, karena sebentar lagi kedua orang tuanya pulang dari kantor. Sesampainya di rumah Hendra sangat merasa sedih, sepi dan kesepian. Ia sangat ingin mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya. ia sterus memikirkan hal tersebut hingga ia tertidur.
         Pada pagi harinya Hendra berbicara dengan orang tuanya, yang sudah ingin buru-buru berangkat kerja. Ia menguatkan hatinya.
         “Pah, Mah aku mau ngomong sama kalian.”  Kata Hendra.
         “Besok aja sayang mamah udah telat mau ke kantor.” Kata mamah.
         “Bisa ga sih kalian ngasih waktu buat aku, ngasih perhatian buat aku, kaya orang tua yang lain. Kenpa sih kalian selalu sibuk sama pekerjaan masing-masing ga ada waktu buat anak sendiri. Berangkat pagi, pulang malem, aku kesepian mah, aku butuh kasih sayang.” Kata Hendra sambil menahan tangis.
         “Hendra papah sama mamah kerja kan juga semuanya demi kamu, untuk biaya sekolah sama biaya kuliah kamu nanti. Tolong mengerti papah sama mamah sayang.” Jelas papah.
         “Tapi aku ga butuh semua itu pah, aq Cuma butuh kasih sayang papah sama mamah, kaya anak-anak yang laen. Dari kecil aku selalu kesepian.” Kata Hendra sambil menangis.
         Ayah dan Ibu Hendra pun luluh mendengar perkataan anak semata wayangnya itu, kemudian ibunya pun memeluk Hendra dengan penuh kasih sayang. Mereka sadar akan kesalahan mereka.
         “Maavin mamah yah sayang, mamah janji akan berusaha untuk membagi waktu mamah, dan lebih merhatiin kamu. Sekarang jangan nangis lagi yah, kamu mandi terus ke sekolah.” Kata mamah.

###


         Hari demi hari telah berlalu, seminggu kemudian ibu Hendra sudah sering berangkat siang dan pulang lebih awal, Hendra pun sangat bahagia karena ibunya sudah memperhatikan ia sekarang. Hendra juga sudah banyak belajar agama bersama Agil. Ia pun sudah hafal bacaan sholat dan taat melaksanakan sholat 5 waktu.
         Sementara teman-teman Hendra heran melihat temannya yang dahulu sangat nakal dan tidak kenal agama bisa berubah sangat pesat. Hendra masih sering bermain bersama teman-temannya tetapi ia tidak pernah merokok lagi. Dan Hendra sering mengingatkan teman-temannya untuk ikut sholat, meski ajakannya itu terkadang hanya sia-sia.
         Hendra sekarang sangat bahagia, karena ia sudah mendapatkan kembali kasih sayang orang tuanya, dan ia sudah banyak kemajuan di bidang agama. Hendra sangat berterima kasih kepada Agil, karana berkat Agil, Hendra mendapat pengalaman yang sangat berharga.




                                                                         Nama: Dewi Asmarani
                                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar